Tidak ada yang salah kalau aku memilih untuk masih sendiri.
Bukan karena patah hati atau mematahkan hati wanita yang membuatku sendiri.
Tapi karena aku tidak percaya dengan hubungan yang dibangun hanya berdasarkan cinta saja.
Alasan mencintai seseorang lalu mengikatnya erat bagiku adalah kekonyolan, lelucon yang penuh sarkasme.
Menikah itu tidak sesederhana rumusan jatuh cinta lalu menikah, menikah juga tidak serumit pikiran bahwa cinta harus dimiliki.
Menikah itu harus lah dibangun berdasarkan rasa saling menghormati satu dengan yang lain, menghormati bukan dengan unsur takut, tapi menghormati perasaan masing-masing pasangan.
Aku bukanlah orang yang pemilih dalam berpasangan tapi aku hanya merasa bahwa kalaupun aku sudah menjalani suatu hubungan maka pantang bagiku untuk mengkhianati.
Beberapa temanku menertawakanku, menertawakan prinsip dasarku. Tidak menjadi masalah bagiku bagaimana pendapat mereka tentang aku.
Bagiku aku harus tetap menanti tanda Dari Gusti Allah, siapa garwaku (sigaran nyawa=belahan jiwa) kelak.
Beberapa hari yang lalu aku berjumpa kembali dengan Larasati, salah satu temanku ketika sekolah dulu.
Seingatku dia anak yang cukup lucu sisanya aku hanya mengingatnya sebagai sosok yang lemah dan patut aku bela.
Seingatku dia anak yang cukup lucu sisanya aku hanya mengingatnya sebagai sosok yang lemah dan patut aku bela.
Ingatanku tentang dia cuma sebatas itu saja tapi ada rasa sekedar ingin menyapanya tidak lebih dari itu.
Tapi entahlah apa karena aku sudah mati rasa atau bagaimana.
Pertemuanku dengan Larasati petang itu cukup lucu untuk dikenang,dia datang ke Green Coffe Shop dengan begitu anggun, dia mengenakan rok terusan batik hijau muda.
Aku sedikit terpukau dengan tampilan sederhananya yang malah membuatnya nampak elegan.
Jauh di lubuk hatiku aku merasa menghormati ini perempuan.
Dia tidak berubah banyak, cuma gaya culunnya sudah hilang berganti kesan matang.
Sesekali kami saling meledek, tidak aku pungkiri aku pun menikmati petang itu bersama Larasati.
Kebersamaan yang sangat sopan, dan aku pun tidak sembarangan melontarkan kata-kata lucu hanya sekedar membuatnya terkesan padaku.
Aku cukup mengerti bahwa waktu ini telah mementukan bahwa Larasati cukup menjadi teman wanita yang aku hormati.
Entah ini tanda DariNya atau aku malah bias,entahlah.
Biar waktu yang menentukan aliran kami nantinya, apakah Larasati untuk Yudhistira atau malah kami hanya sahabat sejati.
Aku tak mau mengingkarinya.
Aku ingin semua berjalan apa adanya, entahlah apa yang ada dalam ruang pikiran Larasati tentangku, entahlah.Bukan aku tak mau tahu tapi biarlah rasa keingintahuanku terjawab dengan waktu.
*betapa sulitnya aku menggambarkan pikiran maskulin*
Negara tropis, 07 Augustus 2010
No comments:
Post a Comment