Sunday, March 18, 2012

Belajar Banyak Hal dari yang Dialami Lini, Terima Kasih Lini.

Negara Tropis dihantam angin yang keras, mengguncang suasana hati.


-Roti Maryam, Kari Sardin diiringi oleh Buku Lini-
Lini menceritakan dengan gamblang perjalanan hidupnya di buku yang dia tulis, "My Life is an Open Book (AKU: Anak, Menantu, Ibu)".


Dari 242 halaman buku Lini itu aku semakin belajar tentang cinta tak bersyarat, tentang perjuangan seorang anak meraba cinta kasih sayang ibundanya.
Seperti masuk ke ruang yang bersekat-sekat terkadang gelap dan baru ada terang ketika berada  di ruang ketika dia menjadi seorang ibu. 
Menarik nafas panjang ketika ada di ruang tidak dikenali sebagai seorang anak, terasing dari abangnya juga.
Buku ini tidak sekedar membuat saya serasa naik kereta luncur cepat naik turun itu tapi juga membuat saya merasakan keterasingan seorang Lini ketika berhadapan dengan Ibundanya sendiri.
Sedih ?
Jelas, saya ikut sedih.
Perjuangan Lini untuk ingin dicintai sangat jelas.
Dari perjuangannya itu saya semakin sadar bahwa menjadi ibu itu bukan sebuah kekuasaan, bukan area untuk menjadi diktaktor. 
Itu yang saya dapat ketika membaca tentang sosok Ibunda dari Lini.
Saya lihat dengan jelas seperti benci tapi rindu tergambar di situ.
Bagaimana Sang Ibunda dari Lini ingin dicintai dengan caranya, cara beliau yang Lini sendiri tidak tahu atau tidak diberi arah bagaimana agar dicintai dan mencintai. 
Tapi bukankah dicintai dan mencintai dari seorang ibu itu tak bersyarat.
Bukankah menjadi ibu itu hal yang luar biasa menularkan cinta tanpa memaksa dibalas cinta.


Terus terang saya belajar banyak hal juga tentang bagaimana keyakinan yang kita anut itu harus diasah dengan kewajiban yang harus kita lakukan. 
Agama itu suri tauladan, tidak bisa diperintahkan begitu saja pada anak-anak.
Tidak bisa kita mewajibkan anak-anak melaksanakan sholat dan mengaji dengan kata-kata saja tapi dengan tindakan kita melaksanakan sholat dan mengaji. 
Anak-anak itu pencari Tuhan sejati. 
Dan orang tua adalah pembimbing utama anak-anak untuk mengenal agamanya. 
Sangat tidak adil kalau kita seenaknya mengatakan "Kamu harus sholat Nak"  lalu si anak balik bertanya "Kenapa harus sholat kalau Ibu tidak sholat". 
Ini jelas tidak adil kan, anak-anak butuh kita membimbing mereka. 
Saya tegaskan diri saya sendiri ketika membaca buku Lini bahwa keyakinan yang diyakini orang tua tidak bisa ditanamkan sekedar dengan perintah saja, sekali lagi anak-anak butuh kita menanamkan keyakinan, mencintai keyakinan.
Saya semakin menyadari penuh bahwa anak-anak mencintai agama bukan sekedar dengan kita perintahkan, anak-anak melihat kita, mengadopsi kekuatan keyakinan kita, mengadopsi cara kita berkeyakinan.
Ada yang sekedar memerintahkan anaknya sholat 5 waktu dengan cara keras tanpa menjelaskan ada cara mencintai sholat 5 waktu untuk dilaksanakan. 
Kita biasakan dengan cinta, terus terang saya jatuh hati dengan sholat ketika saya terjerat kesombongan, ketika itu saya berumur 17 tahun dan ada tugas di sekolah SMA saya waktu itu (sekolah umum negeri bukan sekolah berbasis agama), Guru Agama Islam saya yaitu Pak Sulthon mewajibkan setiap siswa maju bergilir membaca doa niat sholat sampai salam dalam 2 rakaat. 
Pada malam hari sebelumnya ketika sholat Isya saya sombong berujar ah besok cuma tugas maju hafalan bacaan sholat koq, itu gampang dan mudah. 
Begitu kesombongan saya waktu itu membuai saya dan menjerat saya jatuh keesokan harinya.
Ketika giliran saya maju saya tenang dan hati kecil saya berujar duhh tadi kesiangan ya sampai sholat Subuh cepat-cepat asal-asalan, ah cuma bacaan sholat ini aja, pasti mudah.
Saya maju dan dengan lancar membaca 5 niat sholat, membaca doa iftiftah lalu DOENGGGG saya lupa benar-benar lupa bacaan Al Fatihah. 
Pak Sulthon melotot, saya semakin gugup lalu saya melirik Henny yang tercengang menatap saya dengan heran, lalu Henny membisikkan ...Alhamdulillahirobbillaalaaminn...
Lalu saya lancar sampai selesai membaca doa bacaan sholat setelah saya Istighfar.
Kesombongan membuat saya jatuh tersungkur. 
Ini nyata dan saya mengakuinya.
Dari kejadian itu saya belajar untuk mencintai agama saya, mencintai rasa kerinduan saya pada sholat dan mensyukuri karuniaNya yang luar biasa saya mendapat suami yang tidak bisa dan tidak biasa meninggalkan sholat 5 waktu.
Saya jadi membahas keyakinan ini ketika saya memahami perpindahan Lini.
Semua tidak bisa lepas dari genggaman orang tua, tidak bisa begitu saja memerintahkan anak-anak taat kalau kita lengah.
Ini jujur saya akui  ini yang saya tangkap tentang pengajaran keyakinan yang dianggap nomer sekian oleh Ibundanya Lini. 
Pedih, tajam tapi ini jujur.


Dari perjuangan Lini saya belajar banyak hal.
Dan saya salut pada Lini karena dia mau memperbaiki semua yang lengah dari yang dia peroleh itu dia jamin tidak akan terulang pada dua buah hatinya.
Dia dendam untuk kebaikan dua anaknya dan pasangannya.
Dia tidak mau mengcopy, menjadi Ibundanya.
Luar biasa hal itu membuat saya menangis.
Perjuangan Lini mendapatkan cinta dan pengakuan dari Sang Ibunda membuat saya menggigil di tengah panasnya terik matahari siang itu dan terpaan angin seakan memporak-porandakan hati saya.
Lini, terima kasih pelajaran berartinya ya.


Hita

Tuesday, March 6, 2012

Akibat Sok Akrab, Salah Alamat

Negara tropis diterpa hujan syahdu di waktu menjelang fajar, menyisakan pelajaran begitu Subuh usai.

Sesaat setelah usai Subuh dan Al Waqiah kami baca, aku meyiapkan sarapan sambil sesekali bercerita maklum rumah sewa yang kami tempati saat ini kecil mungil.
Aku bercerita tentang pertemuanku dengan salah satu adik Papaku.
Salah satu putra adik Papaku ini terbilang sukses saat ini, di usia begitu muda semuanya tercukupi.
Lalu aku tanya tentang alamat sepupuku itu ke Tanteku alias ibunya sepupuku itu.
Semula dijawab begini, "Oh iya nanti tak kasih alamatnya", gitu jawab Tanteku.
Sampai di akhir pertemuan Tanteku tidak kunjung memberi tahuku alamat sepupuku itu.
Bahkan ketika aku ingatkan untuk memberiku alamat sepupuku itu, Tanteku menjawab dengan alasan yang lucu, alasan yang cocok dia lontarkan ke anak usia 5 tahun, begini jawabnya, "Oh Hit, alamatnya adikmu itu panjang, Tante gak hafal".
Dia lupa kalau aku seorang ibu, sepanjang apapun alamat anakku kelak Insya Allah aku hafal karena pastinya aku mengirimkan bingkisan untuk anak cucuku.
Ah sudahlah
Dalam hatiku aku sudah tahu pasti Tanteku berpikir kalau aku sampai tahu alamat sepupuku itu aku pasti datang dan merepotkan sepupuku. Gelagatnya kelihatan jelas takut keberhasilan anaknya diusik oleh kehadiranku.
Pelajaran yang utama aku petik, keadaanku saat ini dicurigai akan selalu minta bantuan pada saudara yang kaya. 
Jelas Tanteku salah alamat menuduhku demikian.
Karena apa ??
Karena aku meminta bantuan hanya pada ALlah semata.
Pelajaran tambahan selanjutnya yang aku petik adalah sok akrabku ini merendahkan aku sendiri.

Suamiku mendengar ceritaku sampai habis lalu dia tersenyum tipis dan bertampang serius lalu suara beratnya mengalir begini, "Lain kali cukuplah salam dan tidak usah kau tanya apa pun".

Ternyata menjadi terpinggirkan itu menjadi tahu diri.
Aku siapkan sarapan suamiku lalu aku siapkan bajunya, selesai dia dhuha aku sodorkan keperluannya yang aku siapkan tadi.

Dari sepenggal cerita sederhana tapi nyata itu aku bersyukur bahwa Allah sebaik-baiknya penolong.
Hasbunallah wanikmal wakil, Cukuplah Allah Menjadi Penolong Kami.

Tentang perlakuan Tanteku itu tidak membuatku sakit hati karena semua kejadiannya yang menimpaku adalah atas izin Allah semata. 

Saturday, March 3, 2012

Jangan Memberi Embun Palsu

Negara tropis, panas membakar emosi agar hilang tak berbekas tapi masih menyisakan kecewa.




Maksud hatiku untuk berdaya secara ekonomi aku berdagang kecil-kecilan.
Banyak yang suka makanan produksi rumahanku yang memang bermodal pas-pasan.
Jadi aku selalu berharap dalam doa agar segera dibayar.
Apa daya banyak yang menyindir aku terlalu saklek.
Terlalu tidak percaya dan sebagainya.
Sedih, kenapa mereka tidak merasakan untuk mewujudkan produk itu aku mengorbankan waktu dan biaya.
Memang senang mereka pesan tapi sedih begitu mengecek posisi uang di atm yang tidak bertambah.


Aku cuma bisa meredam emosi dengan menangis dalam hati.
Tidakkah kalian lihat betapa beratnya kepercayaan.
Aku menjanjikan anak-anakku beli ice cream yang sekotak Rp 38.000 itu tapi atm-ku masih belum berubah.
Ya Allah, yang beli ini orang cukup semua lho.
Sedih terseok pulang dari atm, dan bingung jawab apa ke suami yang tanya nanti ya.
Tapi jaga image harus dibangun, harus tetap senyum meski hati menangis.
Seribu dua ribu itu berarti.
Aku tidak mau cerita ke suami betapa beratnya usaha kecilku ini, aku hanya akan bercerita kalau jadi pengusaha tanpa kredit dan benar-benar modal doa itu asahanNya di depan, perihnya hati tentang kelakuan konsumen juga bekal.
Aku tidak mau dikecilkan dengan kata-kata  "nah apa yang sudah aku bilang, resikonya itu lho".
Aku diam tapi aku tidak mau surut langkah.
Aku minta Allah aja ...
tidak meminta pada yang lain.
Pelajaran yang aku dapat, jangan memberi harapan ke orang yang memang begitu berjuang, embun palsu.
Sudahlah


*menutup pagi mendung, cucian menumpuk*