Sunday, January 16, 2011

review ala duhita Love in the Time of Cholera (bagian 1)

Metro Tv Sabtu, 15 January kemarin menayangkan film ini.
Aku sudah menanti sejak dari hari selasa sebelumnya maka aku tempel sticker kecil pengingat di atas Tv butut kami hihihi.
Film ini menarik karena Film ini berdasarkan Novel Karya Gabriel Gracia Marques  dengan judul yang sama "Love in the Time of Cholera".
Disamping nama penulisnya yang aku kenal dari  aku umur 17 tahun karena ketika itu Harian Jawa Pos memuat
"One Hundred Years of Solitude" sebagai cerita bersambung dari situ aku mengenal karya besar Gabriel Garcia Marques ini, novel dengan judul Film itu juga membuat si penulis ini menerima Nobel Sastra kalau tidak salah tahun 1983  (kalau salah dikoreksi ya)
Judul asli Novel ini  "El Amor en Tiempos del Cólera"  dan diterjemahkan dalam Bahasa Inggris "Love in the Time of Cholera" 

Film Love in the Time of Cholera (rilis tahun 2007) ini bersetting sekitar tahun akhir 1800 sampai tahun 1920-an.
Bercerita tentang cinta segitiga yang penyajiannya halus dan wajar.
Yang membuatnya istimewa adalah tokoh pria utama di Film ini yaitu Florentino Ariza pegawai telegram  diperankan oleh Javier Bardem yang setia menanti kekasih hatinya Fermina Daza diperankan oleh Giovanna Mezzogiorno , cinta pertamanya itu selama 51 tahun.
Dibuka dengan adegan kematian Dr Juvenal Urbino 80 tahun yang terjatuh dari pohon mangga (suami dari Fermina Dazza) lalu pemakaman yang menyedihkan sendu sampai sapaan dari Florentino Ariza di rumah Fermina Dazza, disebutnya lamanya penantiannya itu sampai membuat Fermina marah karenanya.
"Fermina I have waited for this opportunity for 51 years, nine months and four days. That is... how long I have loved you from the first moment I cast eyes on you un... until now".
*asli aku yo sik bingung di awal*

Pertemuan pertama Florentino & Fermina begitu berkesan di akhir tahun 1800-an itu (jelas ketika mereka masih muda), sampai surat-surat pujian alias surat cinta Florentino Ariza yang penuh dengan kata-kata indah itu selalu datang menghujani Fermina Ariza.
Cinta pertama yang tertanam pada diri Florentino Ariza ini lah yang jadi benang merah film ini.
Fermina Ariza yang menanggapi dengan gugup, malu-malu mau itu malah membuat Florentino Ariza yakin bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Penyampaian surat melalui berbagai kesempatan digambarkan begitu indah, ketika selesai misa di setiap Minggu pagi menjadi romantis dimana dua sejoli ini malu-malu bertukar surat atau saling menerima surat.
Pandangan Florentino yang penuh cinta disambut curi-curi pandang oleh Fermina.
*asli rasane aku melu terhayut, halah*
Menulis surat pun jadi demikian romantis dengan kata-kata yang indah halus dan tidak berlebihan, suara dari Florentino ketika menuliskan surat jadi syahdu demikian juga suara dari fermina terdengar olehku ketika Florentino membaca surat balasan dari Fermina, wajah tenang Florentino bisa sedemikian sumringah hanya dengan membaca surat balasan dari Fermina.
Romantis.
Acara penyampaian surat yang demikian romantis baik secara langsung baik melalui kurir itu sangat digambarkan bahwa satu-satunya berkomunikasi dengan surat itu jadi indah dan mendebarkan.
Sayangnya kisah cinta ini ditentang ayah dari Fermina Dazza, diancamnya Florentino Ariza, dijelaskannya kalau dia menginginkan anaknya berjodoh dengan orang yang mempunyai kedudukan dan terpelajar bukan seperti Florentino yang cuma petugas telegram yang bergaji kecil.
Florentino Dazza tidak gentar malah menjawab ancaman ayah Fermina bahwa kalau tidak menjauhi putrinya maka Florentino akan menyesal , dengan kata-kata yang tenang dan bagiku romantis Florentino menjawab
"The only regre...t I will have in dying is if it is not for love".
"Shoot me. There is no greater glory than to die for love".
Demikian tantang Florentino ke ayah Fermina. 
Fermina dibawa paksa oleh sang ayah pindah ke daerah yang terpencil, adegan perpisahannya pun mengaduk emosi (emosiku maksudku)
Fermina memotong rambutnya lalu potongan rambutnya itu dikirim ke Florentino melalui kurir.
Fiuh rasanya ikut nelongso pas Florentino mengusap potongan rambut Fermina.

Beberapa tahun kemudian Fermina kembali ke kota, Florentino yang menjumpainya tanpa sengaja di tengah keramaian pasar tradisional begitu terpukau dan menghampiri Fermina.
Dengan berdebar dan gugup Fermina menegaskan pada Florentino bahwa hubungan mereka cuma ilusi.
Sebelum pertemuan mereka Fermina sempat demam tinggi dan diare hebat, ayahnya mengira putri tunggalnya itu mengidap cholera, dan disitulah awal perjumpaan Fermina dengan Dokter muda yang baru saja datang dari Paris, Dr Juvinal Urbino (diperankan oleh Benjamin Bratt). Setelah pertemuan tak sengaja itu Dr Urbino terpukau dan jatuh cinta kepada Fermina.
Didukung oleh ayah dari Fermina akhirnya Fermina mau menerima pinangan Dr Juvenal Urbino.
Langit serasa runtuh bagi Florentino Ariza begitu tahu Fermina menikah dengan Dr Juvenal Urbino.
Ibunda Florentino meratap begitu melihat putranya terbaring meringkuk meratapi kehilangan cintanya.
"Sembuhkan hati putraku Tuhanku", begitu kata-kata dari Ibunda Florentino

---------------bersambung aku sik ndredek eling patah hatinya Florentino dan gamangnya Fermina--------



*Catatan: Karena penulisnya orang Amerika Latin dan setting tempatnya juga Amerika Latin jadi aksen bahasa inggrisnya kental dengan logat latin  ;-)  jadi ingat Salma Hayek & Antonio Banderas

Foto diambil dari  : http://lucresialinton.com/wp-content/uploads/2010/10/love-in-the-time-of.jpg

No comments:

Post a Comment