Negara tropis, hujan datang sejuk menyapa, jiwa gersang itu telah bersemi kembali.
Pelajaran berharga dari berpasrah diri itu mulai menumbuhkan tunas damai.
Mulanya aku menanam bibit berpasrah pada jalan yang sudah digariskanNya dengan setengah hati.
Apa yang kudapat ?
Jelas penderitaan yang kudapat
Kenapa begitu ?
Karena aku terlalu dangkal memaknai arti berpasrah diri.
Aku masih belum total.
Aku masih mendikte Allah.
Contohnya begini, ketika kami susah dan mohon pertolongan, aku menetapkan siapa yang harus menolong kami dengan berpikiran mereka kan kerabatku sudah sepatutnya mereka menolong kami apalagi mereka jauh lebih mampu dari kami.
Dan aku tertampar jatuh karena pemikiranku yang dangkal.
Slappp...
Aku sadar diri.
Istighfar panjang
Menangis mohon ampunan bahwa aku terlalu mengkerdilkan Yang Serba Maha.
Kenapa aku mesti menentukan pertolonganNya datangnya dari mana.
Bodoh Duhita, kau menyiksa dirimu.
Sudah seharusnya berpasrah itu benar-benar berserah diri bukan mendikte.
Allah begitu Maha Memberi
Banyak pertolonganNya, kenapa aku menyempitkan diri.
Tamparan keras itu membuatku menangis menghajar diriku yang terlalu naif.
Berhenti mendikteNya.
Sadari jalanNya itu lebih pasti.
PertolonganNya datangnya secepat kilat.
Aku menjadi damai dengan begini.
Mari jalani garisanNya tanpa lepas doa dan harap cuma pada Allah semata Yaa Dzaljalaali Wal Ikram.
No comments:
Post a Comment