-Roti Maryam, Kari Sardin diiringi oleh Buku Lini- |
Dari 242 halaman buku Lini itu aku semakin belajar tentang cinta tak bersyarat, tentang perjuangan seorang anak meraba cinta kasih sayang ibundanya.
Seperti masuk ke ruang yang bersekat-sekat terkadang gelap dan baru ada terang ketika berada di ruang ketika dia menjadi seorang ibu.
Menarik nafas panjang ketika ada di ruang tidak dikenali sebagai seorang anak, terasing dari abangnya juga.
Buku ini tidak sekedar membuat saya serasa naik kereta luncur cepat naik turun itu tapi juga membuat saya merasakan keterasingan seorang Lini ketika berhadapan dengan Ibundanya sendiri.
Sedih ?
Jelas, saya ikut sedih.
Perjuangan Lini untuk ingin dicintai sangat jelas.
Dari perjuangannya itu saya semakin sadar bahwa menjadi ibu itu bukan sebuah kekuasaan, bukan area untuk menjadi diktaktor.
Itu yang saya dapat ketika membaca tentang sosok Ibunda dari Lini.
Saya lihat dengan jelas seperti benci tapi rindu tergambar di situ.
Bagaimana Sang Ibunda dari Lini ingin dicintai dengan caranya, cara beliau yang Lini sendiri tidak tahu atau tidak diberi arah bagaimana agar dicintai dan mencintai.
Tapi bukankah dicintai dan mencintai dari seorang ibu itu tak bersyarat.
Bukankah menjadi ibu itu hal yang luar biasa menularkan cinta tanpa memaksa dibalas cinta.
Terus terang saya belajar banyak hal juga tentang bagaimana keyakinan yang kita anut itu harus diasah dengan kewajiban yang harus kita lakukan.
Agama itu suri tauladan, tidak bisa diperintahkan begitu saja pada anak-anak.
Tidak bisa kita mewajibkan anak-anak melaksanakan sholat dan mengaji dengan kata-kata saja tapi dengan tindakan kita melaksanakan sholat dan mengaji.
Anak-anak itu pencari Tuhan sejati.
Dan orang tua adalah pembimbing utama anak-anak untuk mengenal agamanya.
Sangat tidak adil kalau kita seenaknya mengatakan "Kamu harus sholat Nak" lalu si anak balik bertanya "Kenapa harus sholat kalau Ibu tidak sholat".
Ini jelas tidak adil kan, anak-anak butuh kita membimbing mereka.
Saya tegaskan diri saya sendiri ketika membaca buku Lini bahwa keyakinan yang diyakini orang tua tidak bisa ditanamkan sekedar dengan perintah saja, sekali lagi anak-anak butuh kita menanamkan keyakinan, mencintai keyakinan.
Saya semakin menyadari penuh bahwa anak-anak mencintai agama bukan sekedar dengan kita perintahkan, anak-anak melihat kita, mengadopsi kekuatan keyakinan kita, mengadopsi cara kita berkeyakinan.
Ada yang sekedar memerintahkan anaknya sholat 5 waktu dengan cara keras tanpa menjelaskan ada cara mencintai sholat 5 waktu untuk dilaksanakan.
Kita biasakan dengan cinta, terus terang saya jatuh hati dengan sholat ketika saya terjerat kesombongan, ketika itu saya berumur 17 tahun dan ada tugas di sekolah SMA saya waktu itu (sekolah umum negeri bukan sekolah berbasis agama), Guru Agama Islam saya yaitu Pak Sulthon mewajibkan setiap siswa maju bergilir membaca doa niat sholat sampai salam dalam 2 rakaat.
Pada malam hari sebelumnya ketika sholat Isya saya sombong berujar ah besok cuma tugas maju hafalan bacaan sholat koq, itu gampang dan mudah.
Begitu kesombongan saya waktu itu membuai saya dan menjerat saya jatuh keesokan harinya.
Ketika giliran saya maju saya tenang dan hati kecil saya berujar duhh tadi kesiangan ya sampai sholat Subuh cepat-cepat asal-asalan, ah cuma bacaan sholat ini aja, pasti mudah.
Saya maju dan dengan lancar membaca 5 niat sholat, membaca doa iftiftah lalu DOENGGGG saya lupa benar-benar lupa bacaan Al Fatihah.
Pak Sulthon melotot, saya semakin gugup lalu saya melirik Henny yang tercengang menatap saya dengan heran, lalu Henny membisikkan ...Alhamdulillahirobbillaalaaminn...
Lalu saya lancar sampai selesai membaca doa bacaan sholat setelah saya Istighfar.
Kesombongan membuat saya jatuh tersungkur.
Ini nyata dan saya mengakuinya.
Dari kejadian itu saya belajar untuk mencintai agama saya, mencintai rasa kerinduan saya pada sholat dan mensyukuri karuniaNya yang luar biasa saya mendapat suami yang tidak bisa dan tidak biasa meninggalkan sholat 5 waktu.
Saya jadi membahas keyakinan ini ketika saya memahami perpindahan Lini.
Semua tidak bisa lepas dari genggaman orang tua, tidak bisa begitu saja memerintahkan anak-anak taat kalau kita lengah.
Ini jujur saya akui ini yang saya tangkap tentang pengajaran keyakinan yang dianggap nomer sekian oleh Ibundanya Lini.
Pedih, tajam tapi ini jujur.
Dari perjuangan Lini saya belajar banyak hal.
Dan saya salut pada Lini karena dia mau memperbaiki semua yang lengah dari yang dia peroleh itu dia jamin tidak akan terulang pada dua buah hatinya.
Dia dendam untuk kebaikan dua anaknya dan pasangannya.
Dia tidak mau mengcopy, menjadi Ibundanya.
Luar biasa hal itu membuat saya menangis.
Perjuangan Lini mendapatkan cinta dan pengakuan dari Sang Ibunda membuat saya menggigil di tengah panasnya terik matahari siang itu dan terpaan angin seakan memporak-porandakan hati saya.
Lini, terima kasih pelajaran berartinya ya.
Hita